Higanbana
Saat aku dengar semua orang takut kematian, perlahan definisiku mulai berubah. Ternyata, kematian hanyalah perantara untuk membuat manusia lebih dekat dengan hal-hal yang ditakuti.
Oh... Sebentar.
Ternyata itu gak untuk semua orang.
Psikolog, psikiater, dan segala terapisku pun tau, bahwa dulu kematian adalah hal yang kutunggu.
Ritme syaraf di otakku mulai tidak seimbang. Hormon bahagia yang katanya ada empat, tidak cukup membuat aku mampu mendefinisikan arti kebahagiaan.
"Bahagia itu mati."
Pelan-pelan, mereka bantu aku menyeimbangkan gerakan syaraf di otakku dan mengajariku cara-cara untuk membangkitkan hormon-hormon bahagia tadi, bahkan tanpa obat.
Dan aku berhasil.
Lalu,
menikahlah aku.
Melahirkanlah aku.
Di sini definisi bahagia dan matiku mulai sangat jelas berganti.
Aku-takut-mati.
Bukan karena aku takut Fachry menikah lagi. Tapi aku takut gak ada orang yang inget sama aku lagi. Menurutku saat ini, Fachry yang akan selalu inget aku dimanapun dia berada.
Termasuk saat dia poop di WC umum dengan ikan lele di bak mandinya.
Bukan karena aku takut Barra kehilangan kasih sayang yang tulus. Tapi aku takut gak punya kesempatan untuk menjelaskan cara berpikirku ke Barra.
Aku takut Barra telat untuk sadar bahwa cara berpikir itu gak cuma A sampai Z, tapi bisa juga dari A sampai BCDZ4869 sekian sekian sekian,
yang bahkan kita gak bisa ukur.
Aku takut Barra terpenjara sama pikirannya dan gak sadar kalau sedang dipenjara.
Hhhhh...
Ternyata aku emang bukan takut mati. Ada sesuatu yang melekat di aku dan sulit aku lepaskan begitu saja.
Anak dan suami.
Takut dilupakan dan takut dianggap tidak pernah ada.
Ternyata cara Dia berkomunikasi dengan manusia bisa melalui rasa takut. Dengan takut tadi, Dia ingin mengingatkan bahwa ada lubang kecil yang bisa aku isi agar aku tetap diingat dan dianggap. Bergerak untuk memulai.
Kembali menulis,
dan abadikan.
Dengan memulai sedikit usaha, manusia mampu menipu otaknya sendiri untuk meyakinkan bahwa dia-sudah-aman.
Iya, setidaknya di aku begitu.
Tangerang Selatan, 21 Mei 2025
Nindy Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar